Pendakian Perbakti #1 Kehidmatan di Desa Kiara Payung
- zhibril a
- Jan 21, 2017
- 2 min read
Stasiun Tebet pagi ini cukup ramai, setidaknya di kedua peron tempat pemberhentian kereta arah Bogor dan sebaliknya. Saya ditemani tiga rekan yakni Wulan, Cici, dan Diki, menunggu kereta tujuan Bogor setelah terlebih dahulu membeli tiket. Kali ini kami akan melakukan perjalanan ke Gunung Perbakti.

(Kiri ke Kanan) Saya, Cici, Pak RT Marta dan Wulan. Diky yang fotoin :p
Kurang dari dua puluh menit kereta tiba. Di dalam ternyata sudah berjejalan para penumpang. Saya segera masuk sebelum gerbong benar-benar tak bisa diisi lagi. Di dalam kereta, kami sangat kewalahan menahan ngantuk. Maklum saja, semalam suntuk kami sidang proposal perjalanan di Sekretariat Wanadri Perwakilan Jakarta (WPJ), dan paginya, tanpa istirahat sejenak pun kami langsung berangkat. Belum lagi kondisi kereta yang sesak membuat kami harus berdiri sambil memegangi ransel yang ditaruh di ujung sepatu. Saya melirik ke depan, ke arah Diki. Cukup sulit mencari keberadaannya, kondisi kereta yang bejubel, mata yang lelah, ditambah tempat Diki cukup jauh dari kami bertiga, membuatnya hanya terlihat samar. Rupanya Diki duduk di tempat bekas penumpang yang turun di stasiun sebelumnya. Dan ia sudah tertidur!
Setelah mengurus Surat Ijin Jalan (SIJ) ke Polsek Cibatu, Bogor, serta meminta tembusannya ke Puskesmas Cibatu, dan mengisi perut, perjalanan dilanjutkan dengan mencarter angkot menuju Kiara Payung, desa terakhir sebelum titik awal perjalanan latihan Navigasi Gunung Hutan II.
***
Udara segar dan aroma angin dari pucuk-pucuk muda dedaunan pohon di kampung ini terasa melegakan di tubuh. Pesawahan yang seperti anak tangga luas tersaji di kiri-kanan. Bebek-bebek bermain di kubangan sawah, dan pemandangan Gunung Salak Satu, Gunung Salak Dua, pun Gunung Bunder, nampak memesona dengan background awan-awan putih dan langit biru. Rerumahan milik warga di desa ini sangat ramah lingkungan. Rumah kayu mendominasi, hanya sedikit yang sudah permanen.
Kami membagi dua tim. Diki dan Wulan orientasi medan ke arah Barat Laut, saya dan Cici menggali informasi ke warga setempat dan Pak RT di kampung ini. Hasilnya, Diki dan Wulan mendapatkan titik awal. Saya dan Cici mendapatkan penginapan untuk malam ini. Mengingat waktu yang makin dekat ke malam, saya memutuskan untuk bermalam di kampung ini daripada membuat bivak di hutan. Untunglah Pak RT yang baik hati, tidak sombong, dan murah senyum, menawarai kami untuk bermalam di rumahnya. Kami pun tak menyia-nyiakannya.
Suasana perkampungan dilihat dari lantai dua rumah Pak RT sangat menakjubkan, setidaknya bagi saya. Perkotaan yang terlihat kecil seakan ada di ujung bumi, nampak indah dengan lampu-lampu kecil menyemut, bak taburan meses warna-warni di atas donat. Suhu makin mendingin, kesunyian membuat saya makin meresapi kenikmatan alam ini, serta suara kucuran air di kolam ikan tepat di bawah saya menambah kehidmatan. Belum lagi sore tadi banyak anak-anak kecil mengaji di surau dekat rumah Pak RT dengan riangnya. Mengingatkan masa-masa kanak saya sewaktu di kampung dulu.
Bersambung …
Comments